Ini cerita ketika di Banda Aceh. Karena
pas sama kawan kampus kemaren kurang puas jalan-jalan di Banda Aceh,
akhirnya saya gak ikut pulang ke Medan dan menetap sementara di Banda Aceh.
Jadi saya nginap di rumah kawan SMA yaitu Balqis di daerah Gampong Lamgugop.
Nah, kebetulan ada seorang teman lagi (alias pacar) yang nyusul kemari dan
karena dia laki-laki sendiri makanya dia diasingkan ke hotel gak boleh nginap
di rumah hahahah.
Hotel di Banda bisa dibilang cukup murah,
untuk kamar yang biasa-biasa aja (no AC atau kamar mandi diluar kamar) berkisar
antara 50-80 ribu sementara yang pakai AC sampe ada warm water berkisar antara
100-250 ribu. Kalau mau nginap dengan harga murah bisa dicek ke daerah
Peunayong. Ternyata Banda Aceh merupakan kota yang kecil, kalau nyasar ya
paling nyasarnya disitu-situ juga tapi percayalah, banyak yang harus dikunjungi
disini dan sangat menghibur.
Destinasi pertama kami jatuh pada Museum
Tsunami. Karena kemarin udah kesini dan belum puas, sekaligus bawa turis Jawa
(Hahahah peace ayank) jadi kami kesini lagi. Masuk museum tsunami gak bayar kok
alias gratis, tapi gak boleh bawa tas ya kalau kedalam. Jangan lupa kalau
kesini lihat film dokumenter tentang tsunami, gak lama kok cum sekitar 10-15
menit aja. Selain itu, didalam museum ada barang peninggalan yang dulunya kena
efek tsunami seperti sepeda motor, sepeda, ada replika dan simulasi gempa bumi,
lukisan tentang tsunami,dan banyak lainnya. Oh ya, dilangit-langit museum
terdapat berbagai bendera dunia dan federasi yang telah menjadi relawan ketika
bencana tsunami. Bendera tersebut menuliskan kata “damai” yang dituliskan
berdasarkan bahasa masing-masing negara.
Doi dan saya |
Miniatur Museum Tsunami |
Selepas dari museum, kami beranjak ke PLTD
Apung, kesini juga gak bayar namun ada kotak sumbangan yang berada di depan
pintu masuk. Kalau anda punya rezeki berlebih bolehlah disumbang guna perawatan
si kapal. Kalau udah sore disini cukup ramai dikunjungi warga maupun turis.
Usai dari kapal PLTD Apung kami bergegas
untuk sholat ashar di mesjid Baiturrahim di daerah Uleelheu. Mesjid Baiturrahim
ini merupakan satu-satunya bangunan yang selamat dari terpaan tsunami di
Uleelheu. Kerusakan yang ada pada mesjid hanya sekitar 20% saja, dan menurut
warga yang selamat di mesjid ini, gelombang tsunami yang akan menerpa mesjid
seakan-akan pecah di depan mesjid sehingga mesjid tidak terkena gelombang. Percaya
atau tidak, mesjid ini tidak menggunakan kerangka besi namun bisa menahan
kekuatan gempa 9,6 richter.
Mesjid Baiturrahim
|
Setelah sholat di mesjid bersejarah, kami
duduk menatapi pantai Uleelheu sambil makan kuaci dan sate padang serta es
kelapa tentunya. Enak ya tinggal di Banda, kalau suntuk bisa lihat pantai
dimana-mana ada pantai yang lautnya biru dan belum dirusaki oleh tangan
manusia. Menjelang maghrib, suasana di Banda Aceh penuh dengan suara bacaan Qur’an
yang berasal dari mesjid-mesjid di kota ini. Kami memutuskan untuk sholat di
mesjid Baiturrahman. Mesjid Baiturrahman ini juga tidak terkena gelombang
tsunami, hanya bagian tugu dan depan mesjid saja yang terkena air bah namun
tidak masuk ke dalam mesjid. Nah, mesjid ini merupakan ikon dari Kota Banda
Aceh. Bangunannya berwarna putih secara keseluruhan dengan artistik yang luar
biasa. Setelah sholat magrib disini kami pulang ke penginapan masing-masing,
Surya ke penginapannya yaitu hotel Palembang, Balqis ke rumahnya, dan saya ikut
Balqis dong. Heheheh
Besok paginya, kami bertiga ke Pantai
Lampuuk lagi. Pantai Lampuuk berada sekitar 16 km dari Kota Banda Aceh menju
Meulaboh, dekat dengan pantai Lhoknga. Saya dibonceng oleh Balqis dengan sepeda
motor. Gak berani dibonceng Surya karena takut ditangkap polisi syariah
(padahal kata Balqis gak apa-apa sih). Kami ke bagian ujung Lampuuk yang jauh
lebih indah daripada lokasi yang saya datangi sebelumnya. Ada rumah di tengah
danau, rumah diatas tebing, restoran, dan bebek-bebek lucu. Tapi kalau disini
pondoknya gak gitu banyak, jadi harus sabar-sabar aja nunggu pondoknya kosong.
Gak lama di ujung Lampuuk, kami ke bagian
tengah yang kemarin saya datangi. Kebetulan karena ini hari Sabtu jadi udah
rame aja. Kami makan siang dengan menu ikan bakar, oh ya kalau mau mesan ikan
kita bisa pilih sendiri dan bisa tawar harga loh. Rasa ikannya juga maknyuus
karena bumbu ikannya juga gak sembarangan. Disini kami sholat di mesjid
Rahmatullah, mesjid ini merupakan satu-satunya bangunan yang utuh di Lampuuk
sementara bangunan yang lainnya rata dengan tanah. Di bagian tenggara mesjid,
terdapat bangunan yang memang dibiarkan aja ( gak direnovasi ) dikarenakan
terjangan tsunami. Luar biasa memang kuasa Allah SWT.
Mesjid Rahmatullah yang berdiri kokoh ditengah runtuhan bangunan |
Rahmatullah Mosque nowdays |
Besoknya nih, kami pergi ke pantai lagi
yaitu pantai pasir putih. Kali ini bertambah satu lagi personil yaitu Hilda,
teman SMA juga. Pantai pasir putih terletak di kecamatan Krueng Raya sekitar 40
km dari Banda Aceh. Cukup jauh dan jalan yang ditempuh berkelok-kelok, namun
mata terpuaskan dengan pemandangan bukit batu cadas bak bukit teletubbies di
perjalanan menuju ke pantai. Yaps, pantai ini terletak di balik bukit dan yang
lebih khasnya lagi terdapat pohon-pohon besar yang tumbuh di pinggir pantai dan
menambah keasrian pantai. Pohon besar tersebut kerap dijadikan objek foto-foto
oleh pengunjung. Ada satu hal lucu yang kami alami disini, ketika kami berada
di pondok untuk memesan makanan, ibu penjual makanan sekaligus pengelola pantai
berkata “jangan banyak-banyak foto di pohon itu ya, lihat pohon yang disana
udah mati lantaran banyak orang yang foto disana”. Entah kenapa kami bingung
menghubungkan antara foto-foto dan pohon yang mati. Ahahahah.
Bukit Teletubbies
|
Dibelakang itu ada pohon mati akibat kebanyakan difoto
|
Saya dengan Balqis dan Hilda
|
Sore hari kami bergegas untuk pulang,
namun Hilda menyarankan untuk singgah sebentar di Benteng Indrapatra yang tidak
jauh dari pantai. Benteng ini dulu dibangun sebagai tempat peribadatan umat
Hindu aceh serta menjadi benteng pertahanan ketika diserang oleh kapal
Portugis. Dulunya ada 3 benteng namun yang tersisa hanya tinggal 2. Sayangnya,
situs sejarah ini kurang dikelola dengan baik. Tidak ada informasi mengenai
sejarah benteng dan juga hewan-hewan ternak dibiarkan memasuki benteng sehingga
banyak ranjau hewan dimana-mana. Mudah-mudahan benteng ini mendapat perhatian
dan perawatan yang lebih baik dari pemerintah.
Lalu kami singgah ke rumah makan khas Aceh yaitu Rumah Makan Hasan di daerah Lamyong. Rumah makan ini cukup terkenal dan menyediakan makanan khas Aceh seperti ikan kayu, ayam tangkap, sayur pli, sambal ijo, serta kari kambingnya. Uow, perut keroncongan ketika membayangkan lauk-lauk diatas. Sebenarnya ada kejadian yang lucu ketika dirumah makan ini tapi yasudahlah, nanti yang berkaitan bisa malu. Heheheh.
Nah, setelah makan kami pulang kerumah dan penginapan masing-masing. Jadi, setelah pas seminggu saya di Tanah Rencong, dengan berat hati saya harus bergerak menuju Medan. Berharap saya akan kembali lagi ke tanah ini suatu hari nanti.
Makasih buat dua wanita cantik yang udah ngejamu kami di Banda
|
-- SEKIAN --