Senin, 30 Mei 2011


Mengapa Pendidikan Anak Usia Dini Penting?

Pendidikan anak usia dini (PAUD) yang baik dan tepat dibutuhkan anak untuk menghadapi masa depan, begitulah pesan yang disampaikan Profesor Sandralyn Byrnes, Australia's & International Teacher of the Year saat seminar kecil di acara Giggle Playgroup Day 2011, gelaran Miniapolis & Giggle Management, Jumat, 11 Februari 2011 lalu.
Menurut Byrnes, PAUD akan memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya, yang paling dekat adalah menghadapi masa sekolah. "Saat ini, beberapa taman kanak-kanak sudah meminta anak murid yang mau mendaftar di sana sudah bisa membaca dan berhitung. Di masa TK pun sudah mulai diajarkan kemampuan bersosialisasi dan problem solving. Karena kemampuan-kemampuan itu sudah bisa dibentuk sejak usia dini," jelas Byrnes.
Di lembaga pendidikan anak usia dini, anak-anak sudah diajarkan dasar-dasar cara belajar. "Tentunya di usia dini, mereka akan belajar pondasi-pondasinya. Mereka diajarkan dengan cara yang mereka ketahui, yakni lewat bermain. Tetapi bukan sekadar bermain, tetapi bermain yang diarahkan. Lewat bermain yang diarahkan, mereka bisa belajar banyak; cara bersosialisasi, problem solving, negosiasi, manajemen waktu, resolusi konflik, berada dalam grup besar/kecil, kewajiban sosial, serta 1-3 bahasa."
Karena lewat bermain, anak tidak merasa dipaksa untuk belajar. Saat bermain, otak anak berada dalam keadaan yang tenang. Saat tenang itu, pendidikan pun bisa masuk dan tertanam. "Tentunya cara bermain pun tidak bisa asal, harus yang diarahkan dan ini butuh tenaga yang memiliki kemampuan dan cara mengajarkan yang tepat. Kelas harusnya berisi kesenangan, antusiasme, dan rasa penasaran. Bukan menjadi ajang tarik-ulur kekuatan antara murid-guru. Seharusnya terbangun sikap anak yang semangat untuk belajar," jelas Byrnes.
Contoh, bermain peran sebagai pemadam kebakaran, anak tidak akan mendapat apa-apa jika ia hanya disuruh mengenakan busana dan berlarian membawa selang. Tetapi, guru yang mengerti harus bisa mengajak anak menggunakan otaknya saat si anak berperan sebagai pemadam kebakaran, "Apa yang digunakan oleh pemadam kebakaran, Nak? Bagaimana suara truk pemadam kebakaran yang benar? Apa yang dilakukan pemadam kebakaran? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan ditanyakan untuk memancing daya pikir si anak," contoh Byrnes.
Selama 7 tahun meneliti pendidikan anak usia dini di Indonesia, Byrnes juga menemukan sebagian orangtua memiliki konsep bahwa anak-anak di usia itu sudah bisa berpikir. "Anak-anak usia dini belum bisa berpikir dengan sempurna seperti orang dewasa. Anak-anak usia tersebut harus dipandu cara berpikir secara besar, cara mencerna, dan berdaya nalar. Sayangnya, beberapa lembaga pendidikan anak usia dini di Indonesia belum mengajarkan mengenaimultiple intelligences. Ini kembali ke perkembangan latar belakang ahli didiknya," ungkap Byrnes.
Apa perbedaan anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan usia dini berkualitas dengan anak-anak yang tidak belajar? "Di lembaga pendidikan anak usia dini yang bagus, anak-anak akan belajar menjadi pribadi yang mandiri, kuat bersosialisasi, percaya diri, punya rasa ingin tahu yang besar, bisa mengambil ide, mengembangkan ide, pergi ke sekolah lain dan siap belajar, cepat beradaptasi, dan semangat untuk belajar. Sementara, anak yang tidak mendapat pendidikan cukup di usia dini, akan lamban menerima sesuatu," terang Byrnes yang pernah mendapat gelar Woman of the Year dari Vitasoy di Australia. "Anak yang tidak mendapat pendidikan usia dini yang tepat, akan seperti mobil yang tidak bensinnya tiris. Anak-anak yang berpendidikan usia dini tepat memiliki bensin penuh, mesinnya akan langsung jalan begitu ia ada di tempat baru. Sementara anak yang tidak berpendidikan usia dini akan kesulitan memulai mesinnya, jadi lamban. Menurut saya, pendidikan anak sudah bisa dimulai sejak ia 18 bulan," tutup Byrnes.

ANDRAGOGI

Andragogi berasal dan bahasa Yunani andros artinya orang dewasa, dan agogus artinya memimpin. lstilah lain yang kerap kali dipakai sebagai perbandingan adalah pedagogi yang ditarik dan kata paid artinya anak dan agogus artinya memimpin. Maka secara harfiah pedagogi herarti seni dan pengetahuan mengajar anak. Karena itu, pedagogi berarti seni atau pengetahuan mengajar anak, maka apabila memakai istilah pedagogi untuk orang dewasa jelas kurang tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Sementara itu, menurut (Kartini Kartono, 1997), bahwa pedagogi (lebih baik disebut sebagai androgogi, yaitu ilmu menuntun/mendidik manusia; aner, andros = manusia; agogus = menuntun, mendidik) adalah ilmu membentuk manusia; yaitu membentuk kepribadian seutuhnya, agar ia mampu mandiri di tengah lingkungan sosialnya.
Pada banyak praktek, mengajar orang dewasa dilakukan sama saja dengan mengajar anak. Prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pendidikan orang dewasa. Hampir semua yang diketahui mengenai belajar ditarik dari penelitian belajar yang terkait dengan anak. Begitu juga mengenai mengajar, ditarik dari pengalaman mengajar anak-anak misalnya dalam kondisi wajib hadir dan semua teori mengenai transaksi guru dan siswa didasarkan pada suatu difinisi pendidikan sebagai proses pemindahan kebudayaan. Namun, orang dewasa sebagai pribadi yang sudah matang mempunyai kebutuhan dalam hal menetapkan daerah belajar di sekitar problem hidupnya.
Kalau ditarik dari pengertian pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai seni dan pengetahuan mengajar orang dewasa. Namun, karena orang dewasa sebagai individu yang dapat mengarahkan diri sendiri, maka dalam andragogi yang lebih penting adalah kegiatan belajar dari peserta didik bukan kegiatan mengajar guru. Oleh karena itu, dalam memberikan definisi andragogi lebih cenderung diartikan sebagai seni dan pengetahuan membelajarkan orang dewasa


Read more: Andragogi berasal dan bahasa Yunani andros artinya orang dewasa | Smart Click 

Pedagogi Kritis, Membangun Karakter

ORIENTASI Kementerian Pendidikan Nasional di bawah komando M Nuh ke pendidikan karakter agaknya sudah tepat. Sebab, hakikatnya problem utama bangsa Indonesia sekarang bukan soal intelektual, melainkan moral yang berpangkal dari karakter.
Soal intelektual tak perlu terlalu diributkan, karena kita sering mendengar anak-anak Indonesia hampir selalu memperoleh medali emas dari olimpiade sains tingkat dunia. Namun yang perlu diperhatikan secara lebih serius adalah problem moral, seperti korupsi, ketidakjujuran, pornoaksi, kriminalitas, dan terorisme.
Dari praktik pendidikan yang digembar-gemborkan untuk mengatasi problem itu adalah memberikan keteladanan yang baik dalam segala hal, baik oleh guru, orang tua, maupun masyarakat.
Kurikulum Tersembunyi Pada beberapa kesempatan diskusi dengan praktisi dan guru tersimpulkan, keteladanan memang harus diberikan. Namun bagaimanakah rumusan konseptual, prioritas, serta praktiknya secara nyata?

Di sisi lain, banyak yang berupaya membentuk karakter siswa dengan bertumpu pada kurikulum. Namun dengan mengemukakan konsep keteladanan sebenarnya telah terjadi pergeseran paradigma untuk mengatasi masalah moral, yakni dari berbasis kurikulum resmi menuju ke kurikulum tersembunyi.
Dalam kajian kurikulum, kurikulum tersembunyi adalah nilai-nilai, kultur, pengetahuan, dan ideologi yang diajarkan, dipelajari, dan memengaruhi siswa, namun tak termasuk dalam kurikulum resmi sekolah atau kampus (Margolis, 2001; Apple, 2004).
Satu contoh riil dari kurikulum tersembunyi adalah ketika siswa belajar mencontek di sekolah, belajar tidak jujur, dan mahasiswa belajar korupsi di kampus. Dari contoh tersebut dapat dikatakan, kultur di sekolah dan kampus, baik dalam komunikasi, interaksi, cara menyikapi aturan birokrasi, maupun yang lain-lain itulah kurikulum tersembunyi yang membentuk nalar pikir dan sikap siswa dan mahasiswa.
Dalam persektif ini, upaya membangun karakter peserta didik untuk mereduksi problem sosial, seperti korupsi, terorisme, ketidakjujuran, pornoaksi, lebih didasari kurikulum tersembunyi. Jika sekadar berdasar kurikulum resmi, relatif akan mengulang kegagalan Orde Baru dalam membentuk manusia Pancasila melalui indoktrinasi P4.
Dalam konteks sekarang, pembelajaran soal korupsi pada siswa tak cukup lewat pemberian pengertian, keburukan, dan pencegahan melalui kurikulum resmi. Sebab, kurikulum resmi relatif sekadar menekankan pada aspek kognitif ketimbang afektif. Itu tidak tepat, karena korupsi bukan soal kognitif, melainkan afektif.
Karena itu, orang boleh saja pintar dan tahu betul soal korupsi, tetapi tak ada jaminan tidak akan korupsi. Jadi yang lebih tepat sebagai basis pendidikan karakter adalah kurikulum tersembunyi yang memang berada di ranah afektif. Pembelajaran mengenai hal itu antara lain melalui keteladanan, bangunan kultur, nilai-nilai, dan pengetahuan yang secara inheren beroperasi dalam keseharian di lingkungan belajar.
Tantangan yang dihadapi memang tidak kecil. Kebijakan seperti ujian nasional dan sejenisnya justru sangat nyata kontradiktif dengan semangat membangun karakter positif. Namun strategi pendekatan dengan kurikulum tersembunyi pun tidak cukup, karena perlu dasar konseptual dan praktis cukup kuat untuk membuat siswa dan mahasiswa sadar bahwa praktik korupsi, pornografi, dan terorisme, misalnya, benar-benar tidak baik dan merugikan banyak pihak.
Selain itu, perlu pula dijawab: karakter yang bagaimana yang harus dibangun dan dikembangkan?
Ya, karakter antikorupsi, antiterorisme, dan sejenisnya. Namun apakah dasar sosiokultural dan ideologisnya? Di sinilah perlu dihadirkan perspektif pedagogi kritis sebagai dasar konseptual dan praksis bagi pendidikan karakter.
Hal pertama yang harus dipahami, pedagogi kritik identik dengan gagasan Freire, Apple, McLaren, Giroux, dan kawan-kawan. Namun bukan berarti di Indonesia tak ada gagasan dan praksis pedagogi kritis.
Setidaknya literatur Tan Malaka dengan Sekolah Rakjat-nya di Semarang dan Ki Hadjar dengan Taman Siswa di Yogyakarta adalah wujud gagasan dan praksis pendidikan kritis pada waktu itu. Bahkan jauh sebelum Freire mempraktikkan dan menuliskan Pedagogy of the Opressed (1970). Tentu saja konteks, nuansa, dan dasar filosofinya berbeda, tetapi tetap dalam satu karakter yang sama: kritis.
Kesadaran Kritis Tujuan utama pedagogi kritis adalah menumbuhkan kesadaran kritis pada siswa. Dalam konteks problem moral, yang perlu dibangun adalah kesadaran bahwa di sekolah, kampus, media, masyarakat, dan bahkan keluarga sering terjadi praktik penanaman nilai-nilai ketidakjujuran, korupsi, dan terorisme. Hal itu perlu dilanjutkan dengan upaya membangun kesadaran siswa untuk secara kritis melihat dan menilai korupsi dan problem sosial sejenisnya. Dua kata kunci dalam pedagogi kritis untuk membangun kesadaran kritis adalah dialog dan pelibatan sosial. Bukan indoktrinasi ideologis.

Dengan pendekatan itu, bisa diharapkan kesadaran untuk menolak nalar dan praktik korupsi, misalnya, muncul dari diri sendiri. Itu lebih kuat sebagai basis argumentasi dan alasan untuk menolak korupsi, ketidakjujuran, terorisme, dan lain-lain. Berbeda dari pendidikan berpendekatan indoktrinasi seperti masa P4 dulu, yang tak mampu membangkitkan kesadaran kritis siswa dan mahasiswa mengenai betapa penting P4 dalam hidup keseharian.
Dengan pedagogi kritis, dialog yang demokratis dan kritis digunakan untuk mengasah nalar kritis siswa. Adapun pelibatan sosial untuk penguat argumentasi dengan melihat fakta-fakta sosiokultural akibat korupsi, ketidakjujuran, pornoaksi, terorisme, dan sejenisnya yang nyata.
Selain itu, karakter (berupa nalar pikir, sikap, dan aksi seseorang) pada dasarnya lebih mudah dibangun dengan aksi nyata, yang dalam pedagogi kritis berupa pelibatan sosial, bukan semata-mata dengan belajar di kelas, apalagi indoktrinasi. Sekali lagi, itulah kurikulum tersembunyi, yakni membangkitkan kesadaran kritis melalui praksis pedagogi di luar kurikulum resmi.
Secara praktis, dalam pelibatan sosial, siswa dan mahasiswa harus kritis terhadap lingkungan sekolah dan kampus, juga lingkungan masyarakat sekitar. Satu prinsip pedagogi kritis dari Freire, Ki Hadjar, dan Tan Malaka yang harus digunakan: jangan mencerabut siswa dari kehidupan rakyat, dari kehidupan masyarakat.
Dengan kata lain, sekolah dan kampus jangan dianggap institusi sosial yang terlepas dari masyarakat. Di sinilah pertanyaan mengenai apa dasar sosiokultural dan ideologis pendidikan karakter terjawab, yakni kondisi dan fakta sosial, kultural, dan ideologis di masyarakat.

Sebelumnya telah dimuat di harian lokal Suara Merdeka 24 Juli 2010: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/07/24/117961/Pedagogi-Kritis-Membangun-Karakter

Selasa, 17 Mei 2011

PROSES PENERAPAN E-LEARNING DI LEMBAGA SEKOLAH MENENGAH ATAS

TUGAS KELOMPOK PSIKOLOGI PENDIDIKAN

M. Fadly Sembiring (10-006)
Novira Khasanah    (10-054)
Khairunniswah         (10-084)

PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi terutama  teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yang telah memperngaruhi seluruh aspek kehidupan tak terkecuali pendidikan, sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk memberikan dukungan terhadap adanya tuntutan reformasi dalam system pendidikan. Teknologi informasi dan Komunikasi (TIK), dalam jangka waktu yang relatif singkat, berkembang dengan sangat pesat.
Sekolah sebagai sarana pendidikan harus memiliki tanggung jawab dalam memasuki era globalisasi yaitu harus menyiapkan siswa untuk menghadapi semua  tantangan yang berubah sangat cepat dalam masyarakat kita. Hal ini menyebabkan sekolah dituntut untuk mampu menghasilkan SDM-SDM unggul yang mampu bersaing dalam kompetisi global ini. Peningkatan kualitas dan kemampuan siswa dapat dilakukan dengan mudah, yakni dengan memanfaatkan internet sebagai lahan untuk mengakses ilmu pengetahuan seluas-luasnya atau yang sering kita sebut dengan e-learning.
Istilah e-Learning mengandung pengertian yang sangat luas, sehingga banyak pakar yang menguraikan tentang definisi e-Learning dari berbagai sudut pandang. Salah satu definisi yang cukup dapat diterima banyak pihak misalnya dari Darin E. Hartley [Hartley, 2001] yang Menyatakan e-Learning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media Internet, Intranet atau media jaringan komputer lain. dalam Glossary of e-Learning Terms [Glossary, 2001] menyatakan suatu definisi yang lebih luas bahwa: e-Learning adalah sistem pendidikan yang menggunakan aplikasi elektronik untuk mendukung belajar mengajar dengan media Internet, jaringan komputer,maupun komputer standalone. Dari puluhan atau bahkan ratusan definisi yang muncul dapat kita simpulkan bahwa sistem atau konsep pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar dapat disebut sebagai suatu e-Learning. Keuntungan menggunakan e-Learning diantaranya adalah sebagai berikut: Menghemat waktu proses belajar mengajar & Mengurangi biaya perjalanan & Menghemat biaya pendidikan secara keseluruhan (infrastruktur, peralatan, buku-buku) Menjangkau wilayah geografis yang lebih luas Melatih pembelajar lebih mandiri dalam mendapatkan ilmu pengetahuan Strategi Pengembangan e-Learning.
Ketika berbicara tentang strategi pengembangan e-Learning, maka hakekatnya adalah sama saja dengan strategi pengembangan perangkat lunak. Hal ini karena e-Learning adalah juga merupakan suatu perangkat lunak. Dalam ilmu rekayasa perangkat lunak (software engineering), ada beberapa tahapan yang harus kita lalui pada saat mengembangkan sebuah perangkat lunak. Upaya ini dapat dilakukan dengan memasukkan e-learning sebagai pendekatan dalam proses pembelajaran pada Lembaga Pendidikan (Sekolah). E-Learning saat ini sudah mulai dikembang di beberapa sekolah, baik di kota besar maupun di kota kecil yang sudah memanfaatkan teknologi e-learning ini. E-learning dianggap sebagai salah satu alternatif disamping alternatif lain dalam sistem penyelenggaraan pendidikan, baik tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan, yaitu seluruh staf tata usaha sekolah. Hal ini disebabkan oleh beberapa keunggulan dan kelebihan yang dimiliki teknologi informatika yang saat ini telah berkembang demikian pesat, sehingga mememungkinkan penggunanya dapat bekerja secara cepat, akurat, dan memiliki jaringan yang sangat luas. 

 TUJUAN
adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
 Untuk mengetahui seberapa besar pemahaman siswa tentang e- learning.
Untuk mengetahui seberapa besar kecendrungan siswa untuk menerapkan e-learning sebagai sarana penunjang pembelajaran siswa.
Untuk mengetahui tantangan apa yang dihadapi siswa dalam pemakaian e-learning.
Untuk mengetahui dampak pemakaian e-leaarning pada siswa.

      LANDASAN TEORI
E-Learning merupakan proses pembelajaran dengan menggunakan network (jaringan) (Munir : 2008). Ini berarti dengan e-learning memungkinkan tersampaikannya bahan ajar kepada peserta didik menggunakan media teknologi informasi dan komunikasi berupa komputer dan jaringan internet ataupun intranet. Dengan e-learning belajar bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja dan berlangsung efisien dan efektif.
E-learning merupakan suatu teknologi baru dalam pendidikan di Indonesia. Dalam pembelajaran itu pengajar dan peserta didik tidak perlu berada dalam satu tempat dan waktu yang sama untuk melakukan proses pembelajaran, dimana proses belajar memanfaatkan proses teknologi informasi dan komunikasi.
Dari paparan di atas, maka ciri-ciri e-learning yaitu tidak tergantung pada waktu dan ruang (tempat). Pembelajaran dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja. Dengan e-learning, dapat menyediakan bahan ajar dan menyimpan instruksi pembelajaran yang dapat diakses kapanpun dan dimanapun. E-learning juga tidak memerlukan ruangan yang luas sebagaimana di kelas dan dengan demikian teknologi ini telah memperpendek jarak antara pengajar dan peserta didik.
Dalam penerapannya, terdapat beberapa teori dalam pembelajaran e-learning yang dapat dikaitkan dengan teori psikologi pendidikan. Diantaranya adalah teori kognitif, dimana dalam teori ini seorang anak diharapkan mampu untuk menerima, mencerna dan menalari segala sesuatu atau informasi yang sampai pada dirinya. Hal ini terlihat jelas dimana siswa diharapkan untuk mampu mencerna informasi dari internet dan mampu untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.



ALAT DAN BAHAN
1. alat tulis
2. laptop
3. printer
4. kamera

KUESIONER
No
Pertanyaan
Setuju
Tidak Setuju
1
Saya sudah memahami tentang pemakaian e-learning dengan baik dan benar


2
e-learning sangat bermanfaat untuk memecahkan persoalan yang terjadi di hidup saya


3
Belajar dengan penerapan e-learning dapat memberikan pengalaman yang menarik


4
Dengan e-learning, sangat membantu saya dalam memahami materi pembelajaran


5
e-learning sangat membantu dalam memperluas wawasan saya



6
Lebih banyak dampak positif yang saya peroleh dalam penggunaan e-learning


7
Belajar dengan menggunakan e-learning membantu saya mengembangkan materi secara mandiri


8
e-learning sangat memudahkan saya berkomunikasi dengan siapa pun dan dimanapun


9
Saya tahu cara mencari informasi yang menarik dari internet secara efisien dan menyeluruh


10
Saya cenderung kesulitan dalam mencerna informasi dari internet



11
Internet membatasi ruang lingkup saya dengan dunia nyata



12
e-learning memudahkan proses transfer informasi dan komunikasi



13
Saya sering menggunakan e-mail untuk berkomunikasi dengan teman2 khususnya untuk membahas pelajaran


14
Menurut saya, proses pembelajaran dengan e-learning lebih efektif dan efisien


15
e-learning sangat baik untuk diterapkan di sekolah-sekolah






TABEL PERENCANAAN


NO
PERENCANAAN
TANGGAL
1
Penentuan Topik
1 April 2011
2
Persiapan Kuisioner
5 April 2011
3
Pelaksanaan
7 April 2011
4
Perhitungan Data
8 April 2011
5
Penyusunan Laporan
9-15 April 2011

KALKULASI BIAYA

Pengeluaran

Banyaknya
jumlah
Reward
25x@2000
Rp.50.000,00
Kue
5x@2000
Rp.10.000,00
Dokumentasi
9.000
Rp.9.000,00
Konsumsi
3x@3000
Rp.9.000,00
Jumlah biaya
Rp.78.000,00




ANALISIS DATA
Penilitian ini dilakukan dengan menggunakan subjek sekitar 25 orang siswa SMA X di kota Medan dengan cara pengisian kuesioner tentang pengetahuan serta penalaran mereka pada e-learning dan bagaimana penerapannnya dalam kehidupan mereka. Dapat disimpulkan bahwa mereka telah mengenal e-learning dengan baik namun belum menggunakannya secara efektif dan efisien.

LAPORAN
Berdasarkan dari observasi, peneliti menemukan bawha semua subjek telah mengenal e-learning dengan baik namun mereka masih enggan untuk menggunakannya sebagai penunjang pembelajaran di kelas. Oleh karena hal itu, berdasarkan data mereka dinilai kurang efektif dan efisien dalam menggunakan sistem pembelajaran melalui media internet.
E-learning memang memperluas cakrawala siswa dalam menyelesaikan segala permasalahan dalam hidupnya. Namun, banyak diantara siswa tersebut yang kurang sempurna dalam mencerna informasi dari internet. Sehingga diperlukan guru ataupun pelatih khusus agar mereka tidak menyalahartikan segala informasi yang ada. Siswa juga kurang menggunakan e-learning dalam berkomunikasi dengan teman-teman ataupun siapa saja dalam rangka mendorong proses pembelajaran mereka.

TESTIMONI
Pelaksanaan tugas ini cukup menguras pikiran dan tenaga namun yang bersegi positif. Dimana para peneliti harus berpikir bagaimana cara untuk bisa menyatukan pikiran dan pendapat demi berlangsungnya penelitian. Bukan hanya itu, kreativitas dan sosialisasi juga sangat diperlukan dalam penelitian ini. Peneliti mencoba untuk bersosialisasi dengan subjek dan pihak lembaga sekolah agar mau untuk bersosialisasi demi kelancaran penelitian ini.

Selasa, 26 April 2011

PSIKOLOG PENDIDIKAN & PSIKOLOG SEKOLAH

Kadang kita selalu mengartikan bahwa psikolog sekolah itu selalu sama dengan psikolog pendidikan. Namun ternyata dua hal tersebut bukanlah bidang yang sama. Psikolog sekolah memiliki tugas atau berkecimpung dalam dunia sekolah dimana mengurus atau menyelesaikan persoalan yang berkaitan dengan kondisi psikologis murid yang tidak bisa terselesaikan seperti depresi ataupun frustasi pada murid. Selain itu, psikolog sekolah juga berperan untuk menilai profesionalisme guru dalam mendidik siswa. Hal tersebut diharapkan agar psikolog sekolah mampu untuk mengembangkan mutu pendidikan sekolah tersebut agar terjalin proses keefektivan belajar mengajar antara guru dan murid.


Lalu bagaimana hal nya dengan psikolog pendidikan? Psikolog pendidikan, memiliki batasan tertentu dalam menjalankan tugasnya. Seorang psikolog pendidikan mendalami bagaimana para siswa belajar dengan menyesuaikan antara teori pelajaran dengan kemampuan yang telah dimilikinya, mengenai proses belajar yaitu tahapan peristiwa yang dilalui siswa dalam pembelajaran dan mengenai situasi belajar, yaitu kondisi fisik dan nonfisik yang akan dijalani siswa dalam proses pembelajaran.


Jadi, seorang psikolog pendidikan berperan dalam hal yang umum saja dalam proses pendidikan. seperti masalah kurikulum, situasi pendidikan, dan hal-hal apa saja yang dapat menunjang siswa dalam proses pembelajaran. lain halnya dengan psikolog sekolah. Psikolog sekolah menjalani hal yang lebih khusus lagi dalam pendidikan. Seperti masalah kejiwaan siswa dalam suatu sekolah.


Adapun peran dari psikolog sekolah yaitu :
1. berkonsultasi pada murid tentang masalah yang mereka hadapi.

2. berkonsultasi pada orang tua mereka tentag apa yang terjadi pada anak nya.
3. berkonsultasi serta memberikan solusi yang tepat pada guru atau pendidik bagaimana cara mengajar mereka pada murid.
4. memberikan solusi terhadapp masalah pembelajaran di sekoalah, dana sebagainya.


Sedangkan peran psikolog pendidikan antara lain, yaitu :

1. Merumuskan tujuan pembelajaran secara tepat.

Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru akan dapat lebih tepat dalam menentukan bentuk perubahan perilaku yang dikehendaki sebagai tujuan pembelajaran. Misalnya, dengan berusaha mengaplikasikan pemikiran Bloom tentang taksonomi perilaku individu dan mengaitkannya dengan teori-teori perkembangan individu.

2. Memilih strategi atau metode pembelajaran yang sesuai.

Dengan memahami psikologi pendidikan yang memadai diharapkan guru dapat menentukan strategi atau metode pembelajaran yang tepat dan sesuai, dan mampu mengaitkannya dengan karakteristik dan keunikan individu, jenis belajar dan gaya belajar dan tingkat perkembangan yang sedang dialami siswanya.

3. Memberikan bimbingan atau bahkan memberikan konseling.

Tugas dan peran guru, di samping melaksanakan pembelajaran, juga diharapkan dapat membimbing para siswanya. Dengan memahami psikologi pendidikan, tentunya diharapkan guru dapat memberikan bantuan psikologis secara tepat dan benar, melalui proses hubungan interpersonal yang penuh kehangatan dan keakraban.

4. Memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik.

Memfasilitasi artinya berusaha untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki siswa, seperti bakat, kecerdasan dan minat. Sedangkan memotivasi dapat diartikan berupaya memberikan dorongan kepada siswa untuk melakukan perbuatan tertentu, khususnya perbuatan belajar. Tanpa pemahaman psikologi pendidikan yang memadai, tampaknya guru akan mengalami kesulitan untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator maupun motivator belajar siswanya.

5. Menciptakan iklim belajar yang kondusif.

Efektivitas pembelajaran membutuhkan adanya iklim belajar yang kondusif. Guru dengan pemahaman psikologi pendidikan yang memadai memungkinkan untuk dapat menciptakan iklim sosio-emosional yang kondusif di dalam kelas, sehingga siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan.

6. Berinteraksi secara tepat dengan siswanya.

Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan memungkinkan untuk terwujudnya interaksi dengan siswa secara lebih bijak, penuh empati dan menjadi sosok yang menyenangkan di hadapan siswanya.

7. Menilai hasil pembelajaran yang adil.

Pemahaman guru tentang psikologi pendidikan dapat mambantu guru dalam mengembangkan penilaian pembelajaran siswa yang lebih adil, baik dalam teknis penilaian, pemenuhan prinsip-prinsip penilaian maupun menentukan hasil-hasil penilaian.