Senin, 30 Mei 2011


Pedagogi Kritis, Membangun Karakter

ORIENTASI Kementerian Pendidikan Nasional di bawah komando M Nuh ke pendidikan karakter agaknya sudah tepat. Sebab, hakikatnya problem utama bangsa Indonesia sekarang bukan soal intelektual, melainkan moral yang berpangkal dari karakter.
Soal intelektual tak perlu terlalu diributkan, karena kita sering mendengar anak-anak Indonesia hampir selalu memperoleh medali emas dari olimpiade sains tingkat dunia. Namun yang perlu diperhatikan secara lebih serius adalah problem moral, seperti korupsi, ketidakjujuran, pornoaksi, kriminalitas, dan terorisme.
Dari praktik pendidikan yang digembar-gemborkan untuk mengatasi problem itu adalah memberikan keteladanan yang baik dalam segala hal, baik oleh guru, orang tua, maupun masyarakat.
Kurikulum Tersembunyi Pada beberapa kesempatan diskusi dengan praktisi dan guru tersimpulkan, keteladanan memang harus diberikan. Namun bagaimanakah rumusan konseptual, prioritas, serta praktiknya secara nyata?

Di sisi lain, banyak yang berupaya membentuk karakter siswa dengan bertumpu pada kurikulum. Namun dengan mengemukakan konsep keteladanan sebenarnya telah terjadi pergeseran paradigma untuk mengatasi masalah moral, yakni dari berbasis kurikulum resmi menuju ke kurikulum tersembunyi.
Dalam kajian kurikulum, kurikulum tersembunyi adalah nilai-nilai, kultur, pengetahuan, dan ideologi yang diajarkan, dipelajari, dan memengaruhi siswa, namun tak termasuk dalam kurikulum resmi sekolah atau kampus (Margolis, 2001; Apple, 2004).
Satu contoh riil dari kurikulum tersembunyi adalah ketika siswa belajar mencontek di sekolah, belajar tidak jujur, dan mahasiswa belajar korupsi di kampus. Dari contoh tersebut dapat dikatakan, kultur di sekolah dan kampus, baik dalam komunikasi, interaksi, cara menyikapi aturan birokrasi, maupun yang lain-lain itulah kurikulum tersembunyi yang membentuk nalar pikir dan sikap siswa dan mahasiswa.
Dalam persektif ini, upaya membangun karakter peserta didik untuk mereduksi problem sosial, seperti korupsi, terorisme, ketidakjujuran, pornoaksi, lebih didasari kurikulum tersembunyi. Jika sekadar berdasar kurikulum resmi, relatif akan mengulang kegagalan Orde Baru dalam membentuk manusia Pancasila melalui indoktrinasi P4.
Dalam konteks sekarang, pembelajaran soal korupsi pada siswa tak cukup lewat pemberian pengertian, keburukan, dan pencegahan melalui kurikulum resmi. Sebab, kurikulum resmi relatif sekadar menekankan pada aspek kognitif ketimbang afektif. Itu tidak tepat, karena korupsi bukan soal kognitif, melainkan afektif.
Karena itu, orang boleh saja pintar dan tahu betul soal korupsi, tetapi tak ada jaminan tidak akan korupsi. Jadi yang lebih tepat sebagai basis pendidikan karakter adalah kurikulum tersembunyi yang memang berada di ranah afektif. Pembelajaran mengenai hal itu antara lain melalui keteladanan, bangunan kultur, nilai-nilai, dan pengetahuan yang secara inheren beroperasi dalam keseharian di lingkungan belajar.
Tantangan yang dihadapi memang tidak kecil. Kebijakan seperti ujian nasional dan sejenisnya justru sangat nyata kontradiktif dengan semangat membangun karakter positif. Namun strategi pendekatan dengan kurikulum tersembunyi pun tidak cukup, karena perlu dasar konseptual dan praktis cukup kuat untuk membuat siswa dan mahasiswa sadar bahwa praktik korupsi, pornografi, dan terorisme, misalnya, benar-benar tidak baik dan merugikan banyak pihak.
Selain itu, perlu pula dijawab: karakter yang bagaimana yang harus dibangun dan dikembangkan?
Ya, karakter antikorupsi, antiterorisme, dan sejenisnya. Namun apakah dasar sosiokultural dan ideologisnya? Di sinilah perlu dihadirkan perspektif pedagogi kritis sebagai dasar konseptual dan praksis bagi pendidikan karakter.
Hal pertama yang harus dipahami, pedagogi kritik identik dengan gagasan Freire, Apple, McLaren, Giroux, dan kawan-kawan. Namun bukan berarti di Indonesia tak ada gagasan dan praksis pedagogi kritis.
Setidaknya literatur Tan Malaka dengan Sekolah Rakjat-nya di Semarang dan Ki Hadjar dengan Taman Siswa di Yogyakarta adalah wujud gagasan dan praksis pendidikan kritis pada waktu itu. Bahkan jauh sebelum Freire mempraktikkan dan menuliskan Pedagogy of the Opressed (1970). Tentu saja konteks, nuansa, dan dasar filosofinya berbeda, tetapi tetap dalam satu karakter yang sama: kritis.
Kesadaran Kritis Tujuan utama pedagogi kritis adalah menumbuhkan kesadaran kritis pada siswa. Dalam konteks problem moral, yang perlu dibangun adalah kesadaran bahwa di sekolah, kampus, media, masyarakat, dan bahkan keluarga sering terjadi praktik penanaman nilai-nilai ketidakjujuran, korupsi, dan terorisme. Hal itu perlu dilanjutkan dengan upaya membangun kesadaran siswa untuk secara kritis melihat dan menilai korupsi dan problem sosial sejenisnya. Dua kata kunci dalam pedagogi kritis untuk membangun kesadaran kritis adalah dialog dan pelibatan sosial. Bukan indoktrinasi ideologis.

Dengan pendekatan itu, bisa diharapkan kesadaran untuk menolak nalar dan praktik korupsi, misalnya, muncul dari diri sendiri. Itu lebih kuat sebagai basis argumentasi dan alasan untuk menolak korupsi, ketidakjujuran, terorisme, dan lain-lain. Berbeda dari pendidikan berpendekatan indoktrinasi seperti masa P4 dulu, yang tak mampu membangkitkan kesadaran kritis siswa dan mahasiswa mengenai betapa penting P4 dalam hidup keseharian.
Dengan pedagogi kritis, dialog yang demokratis dan kritis digunakan untuk mengasah nalar kritis siswa. Adapun pelibatan sosial untuk penguat argumentasi dengan melihat fakta-fakta sosiokultural akibat korupsi, ketidakjujuran, pornoaksi, terorisme, dan sejenisnya yang nyata.
Selain itu, karakter (berupa nalar pikir, sikap, dan aksi seseorang) pada dasarnya lebih mudah dibangun dengan aksi nyata, yang dalam pedagogi kritis berupa pelibatan sosial, bukan semata-mata dengan belajar di kelas, apalagi indoktrinasi. Sekali lagi, itulah kurikulum tersembunyi, yakni membangkitkan kesadaran kritis melalui praksis pedagogi di luar kurikulum resmi.
Secara praktis, dalam pelibatan sosial, siswa dan mahasiswa harus kritis terhadap lingkungan sekolah dan kampus, juga lingkungan masyarakat sekitar. Satu prinsip pedagogi kritis dari Freire, Ki Hadjar, dan Tan Malaka yang harus digunakan: jangan mencerabut siswa dari kehidupan rakyat, dari kehidupan masyarakat.
Dengan kata lain, sekolah dan kampus jangan dianggap institusi sosial yang terlepas dari masyarakat. Di sinilah pertanyaan mengenai apa dasar sosiokultural dan ideologis pendidikan karakter terjawab, yakni kondisi dan fakta sosial, kultural, dan ideologis di masyarakat.

Sebelumnya telah dimuat di harian lokal Suara Merdeka 24 Juli 2010: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/07/24/117961/Pedagogi-Kritis-Membangun-Karakter

Tidak ada komentar:

Posting Komentar